Iklan

Iklan

Meneladani Tan Malaka: Refleksi Perjuangan Intelektual dan Spirit Pergerakan Bagi Aktivis PMII

Kaliber38 News
, May 12, 2025 WIB Last Updated 2025-05-12T14:26:26Z



Dalam khazanah sejarah bangsa Indonesia, nama Tan Malaka muncul sebagai sosok kompleks pejuang, pemikir dan pendidik yang seluruh hidupnya diabadikan untuk kemerdekaan dan kemajuan rakyat. Ia lahir di Pandan Gadang Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 dan tumbuh dalam lingkungan Minangkabau yang sarat nilai Islam serta pendidikan kolonial Belanda yang keras. Tan Malaka menjadi salah satu tokoh yang tidak hanya menggugat kekuasaan kolonial secara politik, tetapi juga mendobrak pola pikir feodal dan mistik yang mengakar di tengah masyarakat.


Baginya, kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari ketertindasan mental dan intelektual. Ia menuangkan gagasannya dalam karya monumental seperti Madilog, Gerpolek dan Naar de Republiek Indonesia yang hingga kini tetap relevan dibaca sebagai warisan pemikiran progresif dan pembebasan. Dalam Madilog, misalnya Tan Malaka mendorong bangsa Indonesia untuk meninggalkan cara berpikir mistis dan metafisis dan menggantinya dengan pendekatan logis dan ilmiah. Ia menyebut pendidikan sebagai jalan utama menuju pembebasan sejati dan ini selaras dengan pandangan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama yang menegaskan bahwa “ilmu adalah cahaya", dan bahwa kebodohan adalah musuh utama umat dan bangsa.


Sebagai aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) organisasi mahasiswa yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama dan berpijak pada Islam Ahlussunnah wal Jama’ah semangat Tan Malaka memberikan banyak pelajaran penting. Ia bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan cermin perjuangan tanpa pamrih. Ia menolak perjanjian Linggarjati dan Renville karena merasa bahwa hasil-hasil kompromi tersebut mengkhianati cita-cita kemerdekaan 100 persen. Tan Malaka percaya bahwa kedaulatan bangsa harus berdiri di atas kehendak rakyat, bukan diplomasi yang menindas. Pemikiran semacam ini sangat sejalan dengan prinsip Tawasuth, I’tidal dan Tashamuh dalam tradisi Aswaja yang menempatkan keadilan dan keberpihakan pada kaum Mustadh’afin sebagai fondasi etis gerakan.


Bahkan dalam perspektif KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), demokrasi dan keadilan sosial hanya dapat ditegakkan bila disokong oleh kebebasan berpikir dan partisipasi rakyat. Gus Dur pernah berkata “tdak ada kemerdekaan sejati tanpa kebebasan berpikir" kalimat ini mencerminkan ruh yang sama dari perjuangan Tan Malaka: berpikir merdeka, bersikap merdeka, dan berjuang tanpa takut.


Tan Malaka tidak mencari panggung. Ia tidak membentuk partai besar, tidak merayu kekuasaan, bahkan namanya dihapus dari sejarah resmi selama puluhan tahun. Ia wafat pada tahun 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, dieksekusi secara diam-diam oleh pasukan republik sendiri. Tragedi ini bukan hanya ironi sejarah, tetapi juga pelajaran pahit bahwa kadang idealisme dihukum karena tidak tunduk pada kekuasaan. Namun seperti ucapannya yang terkenal “dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari teriakan kalian yang hidup" warisan pemikiran dan semangat Tan Malaka justru menjadi lebih kuat setelah kematiannya. Sejarah kemudian membuktikan bahwa gagasannya melampaui zamannya dan mampu menyentuh generasi-generasi setelahnya.


Dalam konteks PMII hari ini, pesan Tan Malaka adalah ajakan untuk kembali ke hakikat perjuangan membebaskan rakyat dari kebodohan, ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas.


Kita yang tergabung dalam PMII sepatutnya menjadikan Tan Malaka sebagai bahan refleksi, bukan sekadar tokoh romantik masa lalu. Sebagaimana dikatakan Ketua Umum PB PMII 2014–2017 Sahabat Aminuddin Ma’ruf “Gerakan mahasiswa Islam harus berdiri di atas semangat intelektual dan keberpihakan pada rakyat, bukan hanya euforia simbolik.” Hal ini relevan karena PMII bukan sekedar wadah aktivisme, tetapi ruang kaderisasi ideologis dan intelektual yang bertujuan mencetak pemimpin umat dan bangsa.


Dalam banyak aspek, Tan Malaka telah memberi teladan bahwa perubahan sosial tidak cukup hanya dengan orasi dan aksi, melainkan butuh disiplin berpikir, integritas moral dan konsistensi perjuangan. Tan Malaka adalah simbol perjuangan yang tidak menjual nilai. Ia tidak silau oleh jabatan, tidak tunduk oleh tekanan dan tetap memilih hidup sederhana di tengah ketidakpastian. Kita bisa membandingkan jalan hidupnya dengan banyak aktivis hari ini yang terjebak dalam praktik pragmatisme dan politik pencitraan. Maka, penting bagi kader PMII untuk menjaga marwah pergerakan agar tidak kehilangan arah dan jati diri.


Di tengah derasnya arus disinformasi, kapitalisasi media dan lemahnya literasi publik, pemikiran Tan Malaka mengajarkan kita pentingnya Ijtihad pemikiran yakni keberanian untuk berpikir berbeda dan menggugat kemapanan yang tidak adil. Ini sejalan dengan prinsip Harakah Al-fikr yang dipegang teguh dalam tradisi PMII, yaitu bahwa gerakan harus lahir dari kesadaran kritis dan analisis struktural terhadap persoalan umat dan bangsa. Dalam hal ini, kader PMII harus berani menjadi Intelektual Organik dalam pengertian Gramscian yakni cendekiawan yang tidak hanya mengamati, tetapi terlibat langsung dalam perjuangan rakyat.


Semangat Tan Malaka mendorong kita untuk tidak hanya menjadi mahasiswa yang sibuk di ruang kelas, tetapi juga hadir di tengah masyarakat, menyuarakan kebenaran dan keadilan.


Dengan meneladani Tan Malaka, kita diajak untuk memperbaharui kembali orientasi gerakan PMII dari aktivisme reaktif menuju gerakan transformatif. Kita perlu menyadari bahwa perubahan besar tidak selalu hadir lewat demonstrasi, tetapi juga melalui tulisan, pengajaran dan keteladanan hidup. Kita harus kembali merumuskan pergerakan bukan sebagai ajang perebutan kekuasaan, tetapi sebagai ladang pengabdian kepada umat. Perjuangan Tan Malaka adalah cermin dari keikhlasan yang nyaris punah di era ini. Ia meninggalkan segalanya demi kemerdekaan kenyamanan, keluarga, kekayaan, bahkan nyawa. Inilah makna pengorbanan yang harus ditanamkan dalam hati setiap kader PMII.


Akhirnya, Tan Malaka bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi bagian dari masa depan jika kita mampu menjadikannya sebagai pelajaran. Ia bukan Nabi, bukan Wali, bahkan bukan pahlawan yang sempurna. Namun keberanian, konsistensi dan pemikirannya adalah warisan besar yang tak ternilai. Sudah saatnya PMII menghidupkan kembali warisan-warisan semacam ini berpikir bebas, bergerak tulus dan berjuang untuk rakyat. Sebab sebagaimana dikatakan Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Maka jagalah idealismemu, wahai sahabat pergerakan, sebagaimana Tan Malaka menjaga idealismenya hingga akhir hayat tanpa kompromi dan tanpa pamrih. (Kamil Kader PMII Kota Lubuklinggau)

Komentar

Tampilkan

  • Meneladani Tan Malaka: Refleksi Perjuangan Intelektual dan Spirit Pergerakan Bagi Aktivis PMII
  • 0

Terkini Lainnya