Musi Rawas, 16 Mei 2025 - Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, masih menghadapi persoalan klasik: tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, angka kemiskinan di wilayah ini mencapai 13,49 persen, menjadikannya yang tertinggi keempat di Provinsi Sumatera Selatan. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 4,45 persen, didominasi oleh lulusan SMP dan SMA.
Menurut Emil, seorang pemerhati pembangunan pedesaan yang juga dikenal sebagai tukang kebun lokal, tingginya kemiskinan di Musi Rawas bukan disebabkan oleh kurangnya sumber daya alam, melainkan kurangnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
“Musi Rawas ini sebenarnya punya potensi besar. Kita punya bendungan dan irigasi Gegas di Kecamatan Sukakarya yang bisa menopang ribuan hektare sawah. Kalau ini dimaksimalkan, panen bisa dua hingga tiga kali setahun. Itu artinya ketahanan pangan bisa kita capai, bahkan kita bisa swasembada,” ujar Emil saat diwawancarai, Jumat (16/5).
Ia menilai bahwa selama ini program pemerintah daerah masih bersifat jangka pendek dan karitatif. “Kuliah gratis, berobat gratis, bantuan alat berat itu penting, tapi belum menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan masyarakat adalah pemberdayaan ekonomi yang nyata, bukan sekadar bantuan sesaat,” jelas Emil.
Hal senada disampaikan oleh Afra Pranata, Sekretaris Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lubuklinggau. Menurutnya, rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor utama penghambat kesejahteraan masyarakat Musi Rawas.
“Mayoritas penduduk hanya lulus SD dan SMP. IPM kita masih 69,74, dan rata-rata lama sekolah hanya 7,9 tahun. Ini jelas berdampak pada kualitas tenaga kerja kita,” tutur Afra.
Afra juga menambahkan bahwa pemerintah daerah perlu menyusun strategi jangka panjang yang mencakup pelatihan pertanian modern, akses pembiayaan usaha tani, pendampingan UMKM, hingga pembangunan industri pengolahan hasil pertanian.
“Kalau petani kita diberi akses teknologi, kredit, dan pasar, mereka bisa naik kelas. Kita punya tanah, air dan tenaga kerja. Tinggal kemauan politiknya ada atau tidak,” tambahnya.
Emil dan Afra sepakat bahwa pertanian harus dilihat sebagai peluang masa depan, bukan sekadar nostalgia masa lalu. Mereka mendorong agar sektor ini mendapat prioritas utama dalam perencanaan pembangunan daerah.
“Musi Rawas tidak kekurangan sumber daya, yang kurang adalah keberpihakan. Saatnya pemuda, petani, dan pelaku UMKM dijadikan subjek utama pembangunan,” tutup Emil. (*)


