
Padang, kaliber38news.com.Sebuah temuan mengejutkan kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap manajemen fasilitas layanan kesehatan daerah. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rumah Sakit Paru Sumatera Barat tercatat menyimpan tumpukan obat-obatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) kedaluwarsa senilai Rp449 juta, beberapa di antaranya telah melampaui masa berlaku sejak tahun 2011 dan belum dimusnahkan hingga hari ini.
Terakhir kali pemusnahan dilakukan pada 2021. Sejak itu, proses penanganan barang kedaluwarsa stagnan, menjadi simbol kegagalan dalam pengendalian internal dan pengelolaan anggaran yang bertanggung jawab.
"Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi refleksi lemahnya sistem yang seharusnya menopang kepercayaan publik. Dana habis, obat tak terpakai, dan pelayanan terancam," tegas Ahmad Husein, Ketua LSM P2NAPAS.
Manajemen Logistik di Titik Nol
Audit BPK pada Februari 2025 menemukan bahwa rumah sakit tidak menjalankan prinsip logistik dasar seperti First Expired First Out (FEFO) maupun First In First Out (FIFO). Penataan gudang yang semestinya menjadi fondasi efisiensi layanan justru menjadi titik lemah yang memperbesar risiko pemborosan anggaran dan kelalaian distribusi.
Yang lebih memprihatinkan, Kepala Instalasi Farmasi mengakui bahwa obat-obatan kedaluwarsa tidak lagi dicatat dalam sistem persediaan, membuka potensi ketidaksesuaian antara neraca logistik dan laporan keuangan. “Ini sudah bukan soal teknis. Ketika barang kedaluwarsa tidak dimusnahkan dan tidak tercatat, maka transparansi dan akuntabilitas menjadi nihil,” lanjut Husein.
Fenomena Serupa di RSJ HB Saanin
Masalah tata kelola juga mencuat di Rumah Sakit Jiwa HB Saanin, yang tercatat meminjamkan BMHP dan obat senilai lebih dari Rp8,5 juta kepada beberapa fasilitas kesehatan tanpa adanya nota kesepahaman (MoU) atau dokumentasi resmi. Sampai audit dilakukan pada April 2025, barang tersebut belum dikembalikan dan tak jelas status hukumnya.
“Peminjaman tanpa dokumen resmi dalam institusi pemerintah adalah praktik yang sangat rawan penyimpangan. Tidak ada jaminan barang akan kembali, apalagi dalam kondisi utuh,” ujar Husein.
Tanggung Jawab Institusional Tak Bisa Ditunda
Dalam konteks pelayanan publik dan tata kelola anggaran negara, situasi ini adalah alarm serius. Ketidaktertiban logistik bukan hanya menguras sumber daya, tapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas institusi kesehatan yang dibiayai negara.
Reformasi mendesak dibutuhkan:
Digitalisasi inventori
Penerapan prinsip FEFO/FIFO secara disiplin
Pemusnahan obat kedaluwarsa secara berkala dan terdokumentas
“Saatnya RS Paru Sumbar berbenah. Ini bukan sekadar gudang yang penuh, tapi soal integritas pengelolaan dana publik,” pungkas Husein.
Respons Diam Menambah Kekecewaan.
Hingga berita ini diturunkan, baik Gubernur Sumatera Barat H. Mahyeldi Ansharullah maupun Direktur RS Paru dr. Ardoni, M.M belum memberikan tanggapan resmi atas temuan ini. Diam dalam situasi seperti ini hanya akan memperkuat kesan bahwa manajemen publik tidak memiliki urgensi terhadap efisiensi, etika, dan akuntabilitas.
Abdi Novirta